Foto: VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
Saatnya “menginvasi” (menyerbu) Malaysia. Bukan dengan bedil atau meriam, tapi dengan harga diri, kepercayaan diri, dan kemampuan terbaik dalam sepak bola, lalu menorehkan sejarah Piala AFF yang dulu bernama Piala Tiger.Tepatnya tanggal 26 Desember nanti, pada partai pertama final Piala AFF 2010, Indonesia harus merebut modal sebesar-besarnya agar pada pertarungan kandang tanggal 29 Desember lebih ringan. Modal itu tentunya berupa nilai, lebih jelasnya kemenangan. Tampil indah sepanjang babak penyisihan dan semifinal, Indonesia punya segalanya untuk juara Piala AFF pertama kalinya.
Indonesia sudah memberi pelajaran kepada Malaysia. Di babak penyisihan Grup A, “Garuda” menghajar Malaysia 5-1. Itu bukan kebetulan, karena kemudian Indonesia memamerkan kehebatan dan keperkasaan lainnya dengan membantai laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan dua kali menekuk Filipina 1-0 (agregat 2-0).
Seperti ajakan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, jadikan stadion di Malaysia menjadi seperti Senayan. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sangat banyak. Belum lagi, banyak suporter yang akan datang langsung ke Kuala Lumpur untuk memberi dukungan kepada Firman Utina dkk.
“Tinggal kita ngluruk ke KL. Mari kita jadikan KL menjadi terasa di Senayan. Saatnya Merah Putih berkibar penuh martabat di Malaysia. Bisa!” tulis Anas di akun Twitter, Minggu (19/12/2010) malam.
Melawan Malaysia bukan sekadar urusan sepak bola. Tak bisa dipungkiri, semua catatan konflik kultural-sosial-politik akan muncul menjadi energi tambahan. Malaysia pun sudah pasti juga demikian.
Kampanye pengganyangan oleh pemerintahan Soekarno tak pernah hilang dari ingatan mereka. Itu pula sebabnya, ada sinisme tersembunyi dari Malaysia kepada Indonesia. Sebaliknya, pencurian seni dan budaya, kekerasan terhadap TKI di sana, pelecehan simbol negara, juga akan menjadi pemicu motivasi Indonesia.
Tapi, sepak bola sudah sebaiknya menjadi wahana persahabatan, bukan pemicu konflik. Bahkan, akan menjadi lebih baik jika sepak bola meredam segala konflik, menyalurkan semua energi negatif ke dalam permainan bola bulat, lalu persahabatan menjadi erat.
Meski begitu, sepak bola juga persoalan harga diri. Kehebatan satu bidang, dalam hal ini sepak bola, menjadi cermin olah kebudayaan sebuah bangsa.
Maka, ini saatnya “menginvasi” Malaysia dengan olah pikir, teknik, fisik, dan kreativitas yang terbaik. Semuanya demi menegakkan harga diri Indonesia, bukan mempertajam konflik politik-sosial-kultural. Sebab, kemenangan akhirnya akan mendatangkan rasa hormat lawan. Bahkan, tak menutup kemungkinan dunia lain akan belajar dari Indonesia, seperti saat Malaysia mengirim pelajar ke Indonesia dulu. Atau, bagaimana Jepang belajar kompetisi Galatama kemudian membentuk J-League yang begitu mengagumkan hasilnya.
Setelah rasa sakit dan kecewa akibat kegagalan sepak bola Indonesia sejak 1991 (terakhir juara SEA Games), ini saatnya sepak bola Indonesia kembali tegak dan disegani, seperti era Ramang, Sutjipto Suntoro, Iswadi Idris, Rony Pattinasarani, Herry Kiswanto, dan Ricky Yacobi. Ingat, sepak bola Indonesia pernah dianggap sebagai macan Asia. Indonesia pernah masuk semifinal Asian Games 1988. Sepak bola Indonesia juga pernah mempersulit Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956, menahan mereka 0-0. Soviet waktu itu tim tangguh dan akhirnya juara Olimpiade.
Rasanya memang tak bisa menunggu lagi. Kaki sudah di final, tinggal menyempurnakan perjuangan. Dan, rasanya Firman Utina dkk memiliki semua modal untuk juara. Mereka telah menunjukkan permainan menyerang yang tajam, pertahanan yang rapat, juga permainan menekan yang ketat.
“Serbulah” Malaysia pada 26 Desember, Garuda! Indonesia bisa juara!
0 komentar:
Posting Komentar